Selasa, 20 Januari 2009
Karet Anjilok
Baru setengah jam aku tiba di rumah ketika layar HPku berkedip-kedip. Nyala layarnya memperlihatkan sebuah nomor yang tak terdaftar di buku telpon. “Pasti salah satu konstituen,” celetuk batinku. “Selamat malam bu,” si penelpon menyapa. “Selamat malam pak,” demikian aku menjawab. Si penelepon dengan sopan menjelaskan namanya dan menyatakan ia berdomosili dari salah satu desa di dekat Menjalin dan bermaksud berkonsultasi denganku. “Darimana bapak dapat nomor HP saya” tanyaku. “Saya dapat waktu ibu mengisi acara di PSE lalu,” jelasnya.
Pikiranku menerobos ke system file yang ada dalam otakku. Berlembar-lembar informasi tersearch dalam hitungan detik. “Aha , ternyata pertemuan di PSE itu adalah ketika aku diminta untuk memberikan materi oleh Yayasan Pemberdayaan Pefoor Nusantara (YPPN),” ujar hatiku saat prosesor otakku menampilkan sekilas flashback video ingatan di kepalaku.
Sang bapak, (sebut saja namanya Andi), meminta pendapatku soal isu yang beredar di desa mereka. “Ada banyak isu disini bu,” katanya. “Isu apa sih pak, “ tanyaku penasaran. Aku tak menyembunyikan minatku yang berlebihan terhadap kata ISU. Isu adalah hal sensitive di bumi Kalbar. Apalagi terkait dengan isu-isu SARA . Apalagi Menjalin adalah salah satu daerah yang memiliki akar historis konflik kekerasan . Pada tahun 2003 aku pernah melakukan study tentang konflik kekerasan saat peristiwa PGRS/Paraku tahun 1967 di daerah ini.
Aku kenyang dengan pengalaman melihat konflik kekerasan. Ketika peristiwa kekerasan Kalbar tahun 1996 – 1997, aku masih mahasiswa dan merasakan ketidaknyamanan kuliah. Tahun 1999, ketika peristiwa Sambas meledak, sebagai wartawan muda, aku terjun langsung di lapangan. Dengan bekal 3 bulan sebagai wartawan, aku meliput dengan hati sedih meyaksikan ribuan pengungsi kelaparan mulai dari asrama haji Pontianak, tebas hingga Sejangkung.
Tahun 2000, ketika konflik Pontianak, aku berada di pusat kota dan menyaksikan bagaimana pecinta-pecinta kekerasan menyulut emosi para warga kota dengan slogan-slogan dan berita bohong berbau etnis. Untunglah kerusuhan ini tak sampai meluas.
“Bukan isu apa-apa bu. Ini isu turunnya harga karet,” kata pak Andi memberi penjelasan. Hatiku seketika menjadi lega karena bukan isu kekerasan yang akan ku dengar. Pak Andi kemudian menjelaskan bahwa harga karet di kampungnya sudah turun jauh. “Sekarang turun harga karet bisa setengah bu. Kami hanya bisa jual paling tinggi Rp. 4000,- . Tidak ada pedagang yang berani membeli melebihi harga itu. Kami sekarang bingung mengapa harga bisa jatuh sekali. Bagaimana anak kami sekolah?” katanay dengan kalut.
Aku mendengarkan dengan sabar. “ Lalu isunya apa pak?” tanyaku. “Ada isu bahwa harga karet sengaja dibuat turun oleh perusahaan-perusahaan sawit bu. Soalnya sebagian besar orang tidak mau ada sawit disini. Jadi orang menuduh perusahaan sawit yang ada di belakang turunnya harga karet. Benarkah begitu bu?” tanya pak Andi dengan penuh semangat.
Penjelasan pak Andi membuatku teringat keluhan masyarakat ketika aku pergi ke Kapuas Hulu seminggu sebelumnya. Petani karet mengatakan bahwa harga karet turun sangat jauh. “Sekarang harga karet tinggal Rp. 6 ribu bu. Sulit sekarang hidup kami,” keluh seorang warga Batang Luar padaku.
Melihat kondisi ini aku segera menghubungi temanku dari media untuk memberikan pernyataan pers.
Pernyataan pers lengkapnya dapat dilihat di APPost 4 november 2008 atau klik ke:
http://issuu.com/ptkpost/docs/04112008/28
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar